SIPA : Petualangan Para Legenda
Menjadi salah satu World City adalah impian Kota Solo.
Upaya itu diwujudkan dengan menyelenggarakan festival seni internasional.
Perhelatan seni akbar ini dinamakan SIPA (Solo Internasional Performing
Arts) . Untuk kelima kalinya event ini diadakan. Dan tak ada satupun
dari kelima event itu yang tak
menarik hati para pengunjung. SIPA (Solo Internasional Performing Arts) 2013 kali ini diadakan di Benteng Vastenburg,
Solo. Bukan tanpa alasan jika festival ini diadakan disana . Pertunjukan kali
ini mengusung tema The Legend
"History Of World Culture". Festival ini digelar tiga malam
berturut-turut, yakni Jumat, 20 September 2013 sampai Minggu, 22 September
2013. Setiap malamnya akan ada pertunjukan yang berbeda.
Kontingen asal Sanggar Seni Tanadoang, Sulawesi patut
bangga menjadi delegasi pertama yang tampil pada Grand Opening perhelatan internasional itu. Apresiasi tinggi
terhadap rakyat Kepulauan Selayar yang memiliki legenda dunia yang menakjubkan.
Penghargaan patut diberikan kepada Sanggar Seni Tanadong, Sulawesi yang sangat
mampu menampilkan dengan mengagumkan. Mereka unjuk kebolehan dalam Tarian Gong
Nekara. Para penari menunjukkan kepada kita bahwa Indonesia tercinta memiliki
kebudayaan nusantara yang mengagumkan. Karena, Gong Nekara hanya ada dua di
dunia. Indonesia beruntung memilikinya disamping China. Lebih beruntung lagi
Nekara milik kita adalah yang terbesar dan tertua.
Sanggar dari Sulawesi itu menyuguhkan cerita tentang
kisah cinta antara warga Sulawesi dengan suku China. Gemulainya para penari
terlihat harmonis diiringi perpaduan musik ansambel besar yang terdiri dari Chordophone, Membranphone, Aerophone,
dan tak lupa Metalphone. Tarian yang berdurasi
sekitar 40 menit itu benar-benar menambah suasana hangat di malam yang dingin.
Alunan musik yang estetis ditambah dengan fungsi artistiknya membuat suasana
malam lebih indah. Bahkan, bulan pun menjadi purnama karena ingin menjadi saksi
kenikmatan hiburan di Solo. Bau menyan yang menyengat seolah-olah ikut
menandakan bahwa Gong Nekara biasa digunakan untuk ritual. Cerita mengagumkan
itu diakhiri dengan penyatuan cinta warga Sulawesi dan China yang ditandai
dengan dibentangkannya bendera yang bernuansa islami, karena terdapat tulisan
Arab.
Virpi Pahkinen, Menyematkan Jiwa Dalam Tariannya
Kelenturan tubuhnya seakan menyiratkan bahwa hidup
kita memang Flexible. Kadang baik
sesuai keadaan dan kadang kurang baik. Panggung SIPA (Solo Internasional
Performing Arts) 2013 seakan adalah
dunianya. Penari tunggal itu begitu menikmati alunan musik. Kombinasi alunan Chordophone pada ansambel kecil menjadi
penuntun langkah tarian Virpi. Ketakjuban penonton menegaskan bahwa tariannya
sangat selaras dengan dunia. Kelembutan, ketangkasan, ketegasan dalam tariannya
sangat perlu digunakan dalam kita menjalani hidup ini. Tak peduli ini tanah
Swedia tempatnya atau tanah Indonesia dia tetap melekuk memeluk suasana
mengagumkan. Indahnya koreografi Virpi menambah keanggunan musik estetik dan
artistik itu. Badannya yang ramping dan dapat ditekuk seperti kelopak bunga itu
menambah kesempurnaan penampilannya.
Dia adalah salah satu penari unik. Selain dari jenis
tariannya, gaya rambutnya juga menarik perhatian para penikmat tariannya.
Menjadi hal yang langka jika seorang penari perempuan mencukur habis rambutnya
dan hanya menyisakan sedikit untuk dikepang. Keelokannya dalam menari
menunjukkan bahwa dia benar-benar menyerahkan jiwanya untuk kesempurnaan sebuah
tarian. Totalitas penampilannya membuat banyak penonton yang berdecak kagum
menyaksikannya. Penonton merasa terhibur pada Jumat malam itu. Walaupun dia
menari sendirian, tapi seakan dia ditemani bayangan gerakan sebelumnya. Lighting yang disusun seakan dibuat
terlonta-lonta oleh kegesitan gerakan tariannya. Koreo tariannya tak membuat
monoton bagi penonton. Virpi Pahkinen yang tampil sendirian membawakan karyanya
tentang simbol transformasi dari kumbang yang berputar.
Suasana menghibur begitu terasa malam itu. Penonton
terpaksa menghentikan kekagumannya terhadap Virpi Pahkinem, karena
penampilannya harus ia sudahi. Sedangkan waktu sekitar 20 menit pertunjukan
Virpi terasa begitu cepat. Tetapi penonton sedikit terobati dengan penyalaan kembang
api sebagai tanda pembukaan acara yang begitu meriah.
Opening Ceremony, Dimulainya The Legend "History
Of World Culture"
Kemeriahan tepuk tangan penonton terus terjadi ketika
gong dipukul sebagai tanda dimulainya perhelatan seni akbar itu. Tidak lupa
ketika pemandu acara Farhat dan Elisabeth yang dibalut gaun putih indah
memanggil beberapa Sahabat SIPA (SIPA
Friends). Beberapa pejabat pemerintahan hadir dengan kebanggaan tersendiri.
Sambutan dimulai dari Bapak Walikota Solo FX Hadi Rudyatmo. Dan dilanjutkan
laporan ketua panitia Ibu Irawati.
Selain Bapak Walikota solo pertunjukan itu dihadiri oleh sejumlah pesohor seperti Nina Akbar Tanjung,
perwakilan dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf),
Kementerian Pendidikan Kebudayaan (Kemendikbud), Kementerian Pemuda dan
Olahraga, Anggota DPR , serta perwakilan Gubernur Jawa Tengah itu dibuka dengan pemukulan gong secara bersamaan.
“Salam Budaya, Salam Seni Pertunjukan. Solo Membumi,
Indonesia Mendunia” menjadi jargon pelaksanaan SIPA (Solo Internasional
Performing Arts) kelima ini. SIPA tahun
ini mengusung tema The Legend
"History Of World Culture". Alasan pengangkatan legenda sebagai
tema adalah sebagai salah satu upaya penggalian sejarah kebudayaan dunia. Tak
sampai disitu saja kemeriahan Opening ditandai
dengan penyalaan 2000 kembang api oleh seluruh penonton yang telah dibagi oleh
panitia. Dilanjutkan dengan penyalaan mercon warna-warni yang begitu indah.
Penonton yang mulanya banyak yang mulai mengantuk menjadi terasa direcharge lagi.
Keperkasaan Putri Sima, sang maskot yang diperankan
oleh Rachel Georghea Sentani (Puteri Indonesia Favorit Kepulauan Jawa 2013). Sang
ratu kembali menunjukan betapa legenda menjadi ihwal nan sakral yang juga
memiliki nilai seni tinggi. Mementaskan performing arts bertajuk Candika
Maharupa, Putri Sima yang didampingi sejumlah penari dari Semarak Candra Kirana
(SCK) menyajikan legenda yang diangkat dari keindahan candi, relief, dan stupa.
Sang Ratu Sima memasuki area dengan mengendarai kereta kuda yang indah.
Sebelumnya Rachel Georghea Sentani membawakan tarian bersama 25 penari lainnya.
Keindahan pribadi Sang Ratu diiringi aneka musik
gamelan baik dari Membranphone maupun
Aerophone. Ratu Sima adalah sosok
yang patut dijadikan sebagai pemimpin sebuah negara. Lenggak-lenggok tariannya
semakin hilang dengan kemunculan pemandu acara yang siap memanggil kontingen
yang sudah lama mengantre.
Noreum Machi, Perkusi Penarik Hati
Sederhana namun anggun didengar. Itulah kata yang
terucap ketika menyaksikan penampilan perkusi Noreum Machi. Keharmonisan telah merasuk dalam DNA musik
tradisional Korea Selatan itu. Kombinasi tiga Membranphone dan satu Aerophone
yang disajikan oleh lima orang itu begitu menarik dan ceria. Ritual tapi
bukan ritual. Noreum Machi ansambel
kecil yang digunakan untuk ritual di Korea kini disulap menjadi musik yang
mengandung estetik dan sangat menghibur.
Tarian akrobatik yang dilakukan para penyaji tidak
mengurangi keharmonisan hubungan irama dan emosional musiknya. Bahkan, menambah
pesona debut mereka di atas panggung. Pukulan pada Membranphone seolah menyihir hati penonton untuk ikut merespon
lontaran para penyaji. Mulut menjadi menirukan kata yang diucapkan salah satu
penyaji.
Terampilnya penyaji asal Korea Selatan dalam
membunyikan instrumen membuat sebagian penonton berdiri untuk memberikan
apresiasi tinggi terhadap musik tradisional tersebut. Kehebatan instrumen
begitu terasa. Hanya dalam waktu sekitar 30 menit, penonton seolah merasa di
naturalisasi menjadi rakyat Korea. Kebanggaan rakyat Korea Selatan memiliki itu
juga kita rasakan. Bahwa sebenarnya manusia adalah makhluk yang sangat
beruntung. Karena, telah dianugrahi sebuah penciptaan musik yang indah, serta
kemampuan mengelola dan mengapresiasinya.
Kata “Terima Kasih “ begitu biasa kita dengar dan
ucapkan. Tapi membuat agak luar biasa jika yang mengucapkan adalah Warga Korea
Selatan. Kecanggungan pengucapan kata
“Terima Kasih” oleh para penyaji semakin menghibur. Kata itu berulang-ulang
diucapkan oleh salah satu penyaji. Juga menjadi bagian akhir dari pertunjukan Noreum Machi.
Padnecwara, Penambah Hangat Suasana Dari Jakarta
Tak surut antusias penonton menyaksikan setiap unjuk
kontingen SIPA (Solo Internasional Performing Arts) 2013. Tujuh penari yang tampil tetap menjadi
titik fokus penonton walau malam kian dingin. Tarian delegasi asal Jakarta itu
semakin menambah kekaguman terhadap penyelenggaraan SIPA V tahun ini.
Perpaduan warna merah dan kuning menjadi busana penari
yang sangat anggun. Walaupun begitu, Lighting
yang ditampilkan tak kalah indah dengan busana warna-warni para penari.
Kelincahan penari yang diiringi Idiophone,
Chordophone, Membranphone, dan Metalphone tak mengurangi suasana
kerakyatan. Penari yang energik menggambarkan betapa bahagianya rakyat ketika
menyaksikan pertunjukan seni yang mengagumkan.
Walaupun singkat, hanya sekitar lima menit namun
penonton dapat merasakan keestetikan dan betapa artistiknya musik dan tarian
itu. Malam sangat dingin pukul 21.30 kala itu. Tetapi, bulan purnama yang
nampak cantik berusaha menghangatkan ribuan manusia di Benteng Vastenburg.
Musik yang bertempo cepat didampingi tarian yang cepat juga menambah hiburan
bagi penikmatnya.
Gerakan penari Padnecwara malam itu bukanlah menjadi
pertunjukan terakhir SIPA (Solo Internasional Performing Arts) kelima ini. Dua penampil lagi siap
menunjukkan kebolehannya dalam seni sampai akhir pertunjukan nanti.
Tari China Joy, Menambah Rancak dan Semarak
Tujuh penari dari delegasi Cina itu tak mau kalah
semarak dengan penampil sebelumnya. Mereka menambah warna panggung SIPA kali
ini. Kerancakkan para penari semakin mempesona penonton. Walaupun penonton
semakin berkurang karena semakin dininya malam, tapi tak menyurutkan semangat
penari dari Zhuhai Hansheng Art.
Efek gemericik air mengiringi gerakan anggun para
penampil. Alunan biola dan piano semakin membuat mata ini tak mau berpindah
pandangan. Suasana manjadi legang ketika penonton banyak yang beranjak dari
tempat duduknya.
Semakin malam penampilan semakin menghibur. Musik yang
diperdengarkan tetap memiliki fungsi estetis dan artistik ketika disandingkan
dengan tarian dari China itu. Penampilan tujuh penari dari Zhuhai Hansheng Art
itu tetap harmonis walau kursi penonton sudah banyak yang kosong.
Kombinasi tarian kedua penyaji semakin membuat
penonton tidak bisa berkutik dan beranjak meninggalkannya. Tubuh menjadi
terpaku dengan gerak rancak mereka. Gerakannya mengalun mengikuti irama musik.
Tari Sang Hawa, Gelaran Pamungkas Acara
Animo penonton tak dibuat surut oleh dinginnya malam.
Ratusan bahkan ribuan pasang mata masih tetap setia menunggu gelaran pamungkas Opening Ceremony SIPA (Solo
Internasional Performing Arts) 2013 kali
ini. Sebuah kebanggaan bagi Nan Jombang karena diberi kesempatan menjadi
gelaran penutup hari pertama SIPA tahun ini.
Gerakan dua penari masih menyeruak di malam yang
semakin memuntahkan dinginnya. Kombinasi gerakan yang estetis dengan musik
artistik semakin memprovokasi emosi penonton untuk tetap menjadi penonton setia
. kelincahan kedua penari dalam melantunkan setiap gerakan dapat meredam
dinginnya malam ini. Kesederhanaan penggunaan ansambel kecil yang didominasi
musik Aerophone, semakin menambah
kemewahan tariannya. Lembutnya setiap langkah gerakan semakin memukau setiap
pasang mata yang hadir kala itu.
Apresiasi tinggi terhadap para penari yang jauh datang
dari Sumatera Barat. Kedatangannya tak salah jika ditunggu-tunggu khalayak
Soloraya. Gelanggang Benteng Vastenburg seakan tetap percaya diri berdiri kokoh
disana. Terasa disuntikkan energi kekuatan dari kekaguman penikmat Tari Sang
Hawa. Penari laki-laki yang telanjang dada membuat penonton tidak mengeluh akan
semakin dinginnya Jumat malam.
Balutan musik
Aerophone semakin membuat puas hadirin yang tetap setia sampai akhir.
Penari laki-laki dan wanita itu sangat lihai dalam mengekpresikan diri dalam
potensi Tarian Sang Hawa dari negeri Minangkabau itu. Nan Jombang, Sumatera
Barat akan menjadi bukti kekayaan tradisi masyarakat Indonesia.
Sebuah koreografi Tari Sang Hawa yang diselingi
beberapa dialog mengantarkan penonton pada penghujung acara SIPA hari pertama
itu. Rangkaian acara telah usai. Penampilan masing-masing delegasi telah
menjadi bekal pulang para penontonnya. Pada masing-masing itu pula sedikit
banyak menyelipkan kenangan yang tak pernah dapat terhapuskan karena
keindahannya.