Solo : Awal tatapanku terhadapmu
Aguastus 2012 menjadi awal perjumpaanku dengan kota ini. Indah nian  tatapan pertama itu. sudut barat menjadi pintu pertama yang kulalui. Awal menginjakkan kaki ada sedikit keraguan. Dapatkah aku menjalani hidup di Kota batik ini? Dapatlah aku bertahan di kota budaya ini? Dan dapatkah aku setia terhadap keramaian kota ini? Tak ada pikiran lain kecuali ikut berjalan bersama kawan yang lain. Ikut bertahan dalam keyakinan bahwa aku mampu menghadapi segalanya. 





Tamparan sang mentari menjadi sambutan pedas dari alam. Keramaian kota kuanggap sebagai sambutan hangat dari kota ini. Menjadi tak apa jika aku tersesat, karena memang jalan kota ini tak ada putusnya.
Tak mengapa jika aku belum mengenal keindahannya. Nanti, hari-hari yang kulalui akan mulai mengenalkannya kepadaku. Bukan getaran hati yang muncul namun, getaran kaki yang takut menghadapi dunia Solo. Kehangatan dan kekuatan interaksi dengan kawan menjadikan kaki ini kian mantap berpijak. Mengetahui bahwa banyak teman kampusku yang lebih jauh dariku semakin meyakinkanku untuk percaya diri melangkah.
Hari demi hari aku semakin paham dengan karakter kota ini. Tak lagi aku merasa tak mantap melangkah. Tak lagi ada getaran di kaki setiap melangkah. Tak ragu lagi aku tetap bertahan. Aku yakini bahwa aku bisa. Aku memang tak membawa apa-apa dari kampung halamanku. Tapi, do’a orang tuaku yang selalu menemani setiap aktivitasku.
Awalnya setiap rembulan datang, pipiku selalu basah menjadi jalan derasnya air mata. Lampu-lampu tak mau padam dalam kelam. Ya Allah, harus kusandingkan dengan apa rasa rindu ini  terhadap kampung halamanku dan keluargaku. Bayangan ibuku selalu ada dalam cerminku. Tapi ketika mulai mengenal solo menjadikan diriku terkurung oleh teralis besi lambang keindahan. Tak dapat keluar kecuali aku menemukan kuncinya. Muncul rasa bangga karena aku menemukan banyak kebahagiaan bersama kawan seperjuangan.  Cahaya solo yang menyilaukan semakin menerobos menerangi hati yang sunyi. Sesepi apapun hati ini tetap bahagia.
Sekarang takkan ku biarkan kereta melaju meninggalkanku ketika aku terlambat naik. Akan aku paksa kereta untuk berbalik ke stasiun untuk tetap membawaku melaju menikmati kehidupan kota ini. Akan aku tikam dengan cepat setiap masalahku yang muncul di kota ini. Akan kusambut mentari yang menampar dengan kehangatannya. Tak mau tenggelam aku dalam lautan keramaian itu.
Akhir guratan, terima kasih solo telah menjadi saksi kedewasaanku. Telah bersedia menjadi tangga masa depanku yang selalu aku pijak perlahan. Terima kasih juga kau telah bersedia menjadi sahabat yang menemaniku melalui kehidupan yang keras ini.
 



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar